birds-re.jpgSemilir angin di pagi yang cerah itu kembali terkoyak. Kepulan asap itu memerihkan dan meninggalkan luka kemanusiaan yang teramat dalam. Sejumlah nyawa mesti kembali pulang ke haribaannya, menjemput keabadian. Adakah tragedi yang selalu mengguncang akal sehat dan nurani ini akan terus berulang? Adakah tragedi kemanusiaan ini akan selalu mengintai, dan terus mengabarkan sebaris kidung duka lara?

Baiklah. Human capital tragedy ini sejatinya juga segera mengabarkan sejumlah catatan penting kepada kita tentang sejumlah hal. Secara lebih detil, kita ingin mendiskusikan sejumlah catatan tentang bagaimana sebaiknya kita mengelola crisis management dan juga siasat untuk menjaga agar tragedi ini tak kembali terulang.

Catatan yang pertama adalah tentang crisis management. Peristiwa yang menggucang ini tak pelak merupakan sebuah situasi darurat atau emergency situation. Dan, dalam situasi ini seorang leader (atau top leaders) wajib maju ke depan, memberikan pernyataan yang inspiring, dan sekaligus menyatukan semua langkah untuk merajut spirit kebersamaan.

Namun sayang, persis disitulah, CEO negeri ini tergelincir. Dalam pidato pernyataannya yang kita dengar itu, ada banyak frase yang mengkaitkan tragedi ini dengan proses pemilihan dan pelantikan presiden. Dan sungguh ini merupakan blunder yang mengundang kegaduhan. Disini yang lalu muncul adalah bukan inspirasi, namun kontroversi. Disini yang menghentak bukan lagi spirit kebersamaan sebagai sebuah bangsa.

Barangkali akan jauh lebih menggetarkan jika yang kita dengar adalah seperti pidato menggelora Winston Churchill sesaat setelah kota London dibumiganguskan oleh ribuan pesawat Nazi. Atau juga seperti pidato inspiratif dari Franklin Roosevelt sesaat setelah Pearl Harbor diluluhlantakan oleh pasukan Jepang. Dua pidato ini selalu dikenang lantaran mampu menyatukan solidaritas segenap bangsanya untuk bersatu padu melawan musuh. Isinya sangat inspiring dan menggelorakan spirit persatuan bangsa setelah negerinya hancur oleh serbuan bom dari musuh yang tak kenal ampun.

Catatan yang kedua adalah tentang leadership. Kita tahu saat ini Polri dipimpin oleh seorang top leader bernama Jenderal Bambang Hendarso. Tampaknya harus diakui, dalam kapasitasnya sebagai top leader, belum banyak kiprah bagus yang dilakoni oleh Jenderal Hendarso. Kita melihat memang seperti ada “leadership gap” antara dia dengan leader yang digantikannya, yakni Jenderal Sutanto (ia dianggap sebagai salah satu best general di lingkungan kepolisian) atau Jenderal D’ai Bachtiar (yang dalam kepemimpinannya, berhasil membekuk dan menembak mati sejumlah teroris terkenal).

Tentu saja kita berharap kualitas leadership dari Jenderal Hendarso bisa kian meningkat, dan ia bisa mengulangi sejarah keberhasilan para pendahulunya (dan bukan malah menghabiskan energi mengobok-obok KPK. Shame on him, kalau begini).

Catatan yang terakhir adalah ini : It’s budget, stupid !! Perang melawan teroris adalah sebuah peperangan yang mahal. Dan kita sungguh termehek-mehek kala melihat betapa kecilnya anggaran dan gaji para perwira polisi kita. Sebagai misal, gaji seorang Kapolda dengan bintang dua hanya sekitar 4,5 juta (!!), sementara gaji para anggota Tim Densus Anti Teror yang gagah itu sekitar 1,5 jutaan (hanya beda tipis dengan gaji seorang mandor pabrik).

Mestinya dengan beban dan skala tugas yang diemban, gaji seorang Kapolda layaknya berada pada angka 30 – 40 jutaan, sementara anggota tim Densus itu mesti mendapat gaji 15 – 20 jutaan. Dengan anggaran dan gaji yang amat minim seperti sekarang, barangkali pertempuran melawan para teroris adalah sebuah peperangan yang teramat berat.

Dari kacamata manajemen, proses pertempuran panjang nan melelahkan melawan teroris ini amat membutuhkan mutu leadership yang tangguh dari jajaran Polri. Sebuah kompetensi kunci yang layak dimiliki agar mereka mampu menggerakkan para pasukannya terus bergerak memburu sang penyebar teror. Namun kompetensi leadership yang tangguh itu juga mesti disertai dengan penambahan anggaran yang memadai. Kombinasi dari leadership yang bagus dan anggaran yang layak akan membuat peluang memburu para teroris bisa berhasil dengan meyakinkan.

Tanpa dua elemen kunci itu – yakni great leadership dan strong budget – proses memburu para teroris bisa berakhir dengan kekosongan.

Dan ini artinya, semilir angin pagi yang cerah itu kelak bisa kembali terkoyak penuh luka. Lalu kembali tergeletak dalam serpihan debu dan genangan darah kematian……

Photo credit by : Alicepopkorn @ Flickr.com