Rabu, 22 Juli 2009

Marriott II

Minggu, 19 Juli 2009 | 01:09 WIB
  • Putu Setia

    Bom yang diledakkan teroris di Indonesia tampaknya berseri. Kita mengenal Bom Bali I, yang menewaskan 202 korban dan ratusan luka parah pada 12 Oktober 2002. Korbannya kebanyakan orang asing, namun dampaknya pada 3 juta penduduk Bali yang langsung terpuruk perekonomiannya. Pada saat orang Bali berbenah, bom kembali meledak pada 1 Oktober 2005. Orang menyebutnya--meski saya tak suka--Bom Bali II.

    Hotel JW Marriott sudah dihantam bom pada 5 Agustus 2003, yang menewaskan 11 orang. Setelah enam tahun berlalu dan orang melupakannya--termasuk mungkin petugas keamanan hotel--Jumat lalu kembali hotel itu diporak-porandakan bom. Bom Marriott jilid kedua? Sungguh saya tak suka penomoran ini.

    Ini titik hitam sejarah Indonesia. Begitulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengomentari ledakan bom ini dengan "lebih cepat". Semua penduduk negeri saya kira sependapat, ulah teroris itu merupakan titik hitam kelewat hitam untuk bangsa yang sedang sukses melaksanakan pemilihan umum dengan damai. Semua elemen bangsa, entah politikus atau pemimpin agama, apalagi penggemar sepak bola, pasti mengutuk keras ulah teroris yang "berani mati" tapi "takut hidup" itu, yang meledakkan bom bunuh diri. Cuma, pasti banyak yang menyayangkan--dengan segala hormat, termasuk saya--kenapa Presiden SBY bertindak "lebih cepat tapi tidak lebih baik"?

    SBY berpidato terlalu banyak untuk sebuah duka yang menyayat. Disayangkan lagi, kelebihan kata yang banyak itu justru dikait-kaitkannya ledakan Bom Marriott II dengan pemilihan presiden. Seolah-olah bom ini ada tautannya dengan kalah-menang dalam pemilihan presiden. Begitu usai pernyataan itu, saya langsung mengirim pesan pendek kepada tokoh-tokoh masyarakat Bali dan menulis pesan di Facebook. Intinya, saya minta masyarakat tidak termakan provokasi, jaga persatuan, kendalikan diri, berdoa agar "air tak makin keruh".

    Yang saya bayangkan, orang-orang yang kena "sindir" Presiden SBY akan bereaksi, dan "air pun makin keruh". Pengalaman buruk seperti ini terlalu banyak di Bali. Ketika Megawati Soekarnoputri kalah oleh Abdurrahman Wahid pada pemilihan presiden dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, orang Bali mengamuk. Kompleks perkantoran mewah Kabupaten Badung dibakar jadi arang seutuhnya, belum lagi puluhan bangunan di berbagai kota ludes dibakar massa. Korban akibat "kepicikan politik" semacam ini sudah menjadi umum di masa lalu, bahkan tragedi 1965 yang menewaskan ratusan ribu orang Bali itu jadi monumen "titik kelewat hitam".

    Puji syukur, Tuhan. Megawati ternyata tenang dalam kasus Bom Marriott II ini. Jusuf Kalla lebih tenang lagi, bahkan sempat tersenyum sedikit ketika menyebutkan, "Ah, tak ada itu, jadi dikira Mega dan saya yang melakukan (pengeboman) itu." Yang sungguh menggembirakan adalah Prabowo Subianto; tak mau menanggapi pernyataan SBY, mengutuk pelaku peledakan bom itu, dan siap bekerja sama memerangi teroris. Saya kagum terhadap ketiga tokoh ini. Pada saat orang panik, mereka bikin tenang.

    Teroris harus diperangi dengan bersatunya seluruh elemen bangsa. Ini bukan masalah agama, tak ada agama mengajarkan kedurjanaan. Namun, perang terhadap teroris juga tak bisa dilakukan dengan panik, apalagi takut. Lebih-lebih lagi melemparkan dugaan kepada orang atau kelompok tertentu tanpa diselidiki lebih jauh kebenarannya. Teroris harus dihadapi sebagai "musuh bersama". Mereka tentu tertawa kalau kita saling mencurigai. Bom Marriott, seperti halnya bom Bali, harus kita sudahi sampai bilangan dua. Polisi harus lebih sigap, lupakan dulu menangkap cicak.

  • Tidak ada komentar:

    Posting Komentar