Selasa, 28 Juli 2009

Negarawan

Sabtu, 25 Juli 2009 | 23:30 WIB, Tempo Interaktif, Jakarta.

Putu Setia

Ini bukan gosip. Bukan pula rumor. Tapi memang sulit ditelusuri kejadiannya. Tiba-tiba di depan saya berdiri seseorang. Supaya tak kikuk, saya langsung sok akrab dan berlagak sebagai wartawan yang mewawancarai tokoh ajaib ini. Berikut ini tanya-jawab itu.

Siapakah Anda? Boleh saya mewawancarai Anda?

Jangan tanya siapa saya. Memangnya yang diperlukan pendapatnya atau identitasnya? Media massa terlalu mengagungkan tokoh, figur publik, bukan isi kepalanya. Kalau orang bertitel, pejabat tinggi, pimpinan puncak partai, apalagi kaya raya, pendapatnya pasti ditulis panjang. Kalau orang kampung, miskin pula, pendapatnya dilewatkan.?

Ah, terlalu panjang jawabannya. Singkat saja, siapa tokoh yang Anda kagumi?

Jusuf Kalla. Dia kalah pada pemilu presiden, tapi dia membuktikan dirinya siap kalah. Dia menerima hasil rekapitulasi pemilu presiden dengan hadir sebagai negarawan sejati. Kalaupun ada gugatan yang diajukannya ke Mahkamah Konstitusi, itu untuk perbaikan pemilu yang akan datang. Jusuf Kalla berjiwa besar, senyumnya akan lama dikenang.?

Ah, panjang juga. Anda sependapat pemilu ini banyak kecurangannya?

Tidak ada kecurangannya. Yang ada kesemrawutan dan keamburadulan. Kalau kecurangan artinya ada yang memesan kecurangan untuk keuntungan pihak tertentu. Anggota Komisi sepertinya tak berbuat begitu, mereka hati-hati sekali supaya tak masuk penjara. Hukum karma sedang berjalan. Pihak yang menyebutkan pemilu tak demokratis, pemilu terburuk, penuh kecurangan, dan sebagainya adalah mereka yang mempersiapkan pemilu ini.?

Stop, masih panjang. Apa hukum karma itu?

Hukum karma itu aslinya disebut karma phala. Mereka menikmati hasil atau buah (phala = pahala) dari perbuatannya (karma) di masa lalu. Kalau perbuatannya jelek, hasilnya, ya, jelek. Undang-Undang Pemilu baru ada tahun lalu, ini kan membuat persiapan pemilu terburu-buru. Pasal-pasalnya tak pernah jelas, akibatnya amburadul. Komisi menetapkan begini, Mahkamah Agung menetapkan begitu, ribut lagi. Aneh bin ajaib, pasal segenting itu multitafsir, kayak bukan "orang sekolahan" yang bikin. Yang melahirkan undang-undang itu kan anggota DPR? Lalu daftar pemilih tetap datanya dari mana? Departemen Dalam Negeri dapat bahannya dari pemerintah daerah dan pemerintah kabupaten/kota. Nah, anggota DPR dan yang jadi gubernur dan bupati itu kebanyakan dari partai yang kini menyebut pemilu tak demokratis.

Waduh panjang banget. Singkat saja, apa ini bukan karena anggota Komisi kurang profesional?

Yang jelas penampilannya religius, peci dan jilbab tak pernah lepas. Kalau disebut kurang profesional, lo, yang memilihnya siapa? Kan, wakil-wakil rakyat. Jangan-jangan yang memilihnya dulu yang tak profesional. Kok, baru sekarang menyesal setelah menerima kekalahan. Karena itu, Jusuf Kalla sangat bijak. Gugatannya ke Mahkamah Konstitusi lebih pada upaya perbaikan di masa depan.

Apa mungkin Mahkamah Konstitusi mementahkan hasil pemilu presiden ini? Singkat saja.

Tergantung kenegarawanan sembilan hakim itu. Mereka pasti tak hanya memelototi kertas gugatan, tapi juga meneropong "suara kebatinan" rakyat Indonesia. Jangan seperti hakim Mahkamah Agung, sudah keputusannya kontroversial, diumumkan juga telat. Lalu enak saja bilang, kalau tak dilaksanakan, ya, sudah tak ada unsur pidananya. Lantas mau apa?

Kalau pemilu presiden diulang, entah di seluruh negeri entah di sebagian provinsi, Anda setuju?

Wah, Anda seperti penyiar televisi, minta jawaban singkat, tapi pertanyaannya panjang. Ya, jawab singkat: rakyat capek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar